Ilmu Hadits : Hadits Sebagai Sumber Hukum Kedua setelah Al-Qur'an




1.      KEDUDUKAN HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Sunnah sebagai sumber hukum Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetapi juga murtad hukumnya. Ayat-ayat Al-Qur’an sendiri telah cukup menjadi alasan yang pasti tentang kebenaran Al-Hadits, ini sebagai sumber hukum Islam. Di dalam Al-Quran dijelaskan umat Islam harus kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, diantara ayatnya adalah sebagai berikut:
1.      Setiap Mu’min harus taat kepada Allah dan kepada Rasulullah. (Al-Anfal: 20, Muhammad: 33, an-Nisa: 59, Ali ‘Imran: 32, al- Mujadalah: 13, an-Nur: 54, al-Maidah: 92).
2.      Patuh kepada Rasul berarti patuh dan cinta kepada Allah. (An-Nisa: 80, Ali ‘Imran: 31)
3.      Orang yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa. (Al-Anfal: 13, Al-Mujadilah: 5, An-Nisa: 115).
4.      Berhukum terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman. (An-Nisa: 65).
Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena selain memang di perintahkan oleh Al-Qur’an, juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum utama. Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam hal ini tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak (multi makna), muhtamal (mengandung makna alternatif) dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya. Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan rasio (logika) sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.Imam-imam pembina mazhab semuanya mengharuskan kita umat Islam kembali kepada As-sunnah dalam menghadapi permasalahannya.

Asy-Syafi’i berkata;                                              
إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله ص م فقولوا بسنة رسول الله ص م ودعوا ما قلت
“apabila kamu menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlawanan dengan sunnah Rasulullah Saw. Maka berkatalah menurut Sunnah Rasulullah Saw, dan tinggalkan apa yang telah aku katakan.”
Perkataan imam Syafi’i ini memberikan pengertian bahwa segala pendapat para ulama harus kita tinggalkan apabila dalam kenyataannya berlawanan dengan hadits Nabi Saw. Dan apa yang dikategorikan pengertian bahwa segala pendapat para ulama harus kita tinggalkan apabila dalam Asy-Syafi’i ini juga dikatakan oleh para ulama yang lainnya.Tetapi Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum yang harus diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum kerasulannya.Untuk mengetahui  sejauh mana kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam, dapat dilihat dalam beberapa dalil, baik dalam bentuk naqli ataupun aqli.

2. HUBUNGAN AL-HADITS/AS-SUNNAH DENGAN AL-QUR'AN


Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas dari pada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi As-Sunnah dalam hubungan dengan Al-Qur’an itu berdasarkan kitab Ar-Risalah adalah sebagai berikut :
1.      Bayan At- Taqrir
Bayan taqrir bisa juga disebut bayan ta’kid dan bayan al-isbat jadi yang dimaksud dengan bayan taqrir yaitu As-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an. Seperti hadits yang berbunyi:
فإذا رأيتموه فصومواوإذارأيتموه فأفطروا
(Apabila kamu melihat bulan maka berpuasalah dan apabila kamu melihat bulan maka berbukalah) adalah memperkokoh ayat Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah : 185.
2.      Bayan At-Tafsir,
Yang disebut dengan bayan tafsir yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits :
صلو كما رأيتموني أصلي (رواه البخاري ومسلم(
(Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu :
أقيمواالصلاة
(Kerjakan shalat). Demikian pula hadits:
خذواعني مناسككم
(Ambillah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsir dari ayat Al-Qur’an;
وأتموالحج
 ( Dan sempurnakanlah haji ).
3.      Bayan At-Tasyri’
Dimaksud dengan bayan at-tasyri’ adalah mewujudkan sesuatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam Al’Qur’an. Bayan ini jugaa disebut dengan bayan zaid ‘ala Al-Kitab Al-Karim. Hadits merupakan sebagai ketentuan hukum dalam berbagai persoalan yang tidak ada dalam Al-Qur’an. Hadits bayan at-tasyri’ ini merupakan hadits yang diamalkan sebagaimana dengan hadits-hadits lainnya. Ibnu Al-Qayyim pernah berkata bahwa hadits-hadits Rasulullah Saw itu yang berupa tambahan setelah Al-Qur’an merupakan ketentuan hukum yang patut ditaati dan tidak boleh kitaa tolak sebagai umat Islam. Suatu contoh dari hadits dalam kelompok ini adalah tentang hadits zakat fitrah yang berbunyi:
إن رسول الله صلي الله عليه وسلم فرض زكاة الفطرمن رمضا ن علي النا س صاعا من تمرأوصاعا من شعيرعلي كل حراوعبد ذكر أو أنثي من المسلمين
Artinya:“Rasulullah Saw telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulam Ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan.”
Hadits yang termasuk bayan Tasyri’ ini wajib diamalkan sebagaimana dengan hadits-hadits yang lainnya.
4.      Bayan  An-Nasakh
Kata An-Nasakh dari segi bahasa adalah al-itbal (membatalkan), Al-ijalah (menghilangkan), atau at-tahwil (memindahkan). Menurut ulama mutaqoddimin mengartikan bayan an-nasakh ini adalah dalil syara’ yang dapat menghapuskan ketentuan yang telah ada, karena datangnya kemudian. Imam Hanafi membatasi fungsi bayan ini hanya terhadap hadits-hadits muawatir dan masyhur saja. Sedangkan terhadap hadits ahad ia menolaknya. Salah satu contoh hadits yang biasa diajukan oleh para ulama adalah hadits:
لا وصية لوارث
Yang artinya: “Tidak ada wasiat bagi ahli waris”.
Hadits ini menurut mereka me-nasakh isi Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 180:
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”(QS:Al-Baqarah:180).
TIDAK BOLEH MENUNDUKKAN HADIST KE BAWAH MAZHAB
A.    Tidaklah boleh kita mengembalikan hadits kepada mazhab secara yang menghilangkan keindahan hadits tersebut. Karena yang demikian adalah memerendahkan kedudukan hadits. Perkataan para ulama ada yang diambil dan ada juga yang ditolak, terkecuali hadits nabi yang shohih maka semuanya tidak boleh sekali-kali ditolak.
B.     Tidak boleh bertasahhub dengan jalan mencari berbagai macam alasan untuk membela mazhab. Abu Ishaq Asy Syatiibi mengatakan bahwa segala yang diamalkan oleh ahli tasawwuf yang mu’tabar dalam bidang tasawwuf seperti halnya Al-Junaidi tidaklah sunyi dari hal-hal berikut:
a)      Adakalanya yang diamalkan itu sesuatu yang mempunyai dasar dalam Syari’at, maka dalam hal ini kita dapat mengikuti mereka.
b)      Adakalanya tidak mempunyai dasar dalam syari’at, kalau demikian, kita tidak boleh mengamalkannya, karena Shohibus Sunnah adalah orang yang terpelihara dari salah sedangkan orang tasawwuf itu tidaklah demikian.
Karenanya para ulama semuanya mengatakan:
كل قول مأخوذ ومتروك إلا قول رسول الله ص م
“Tiap-tiap perkataan ada diantaranya yang diambil dan ada yang ditinggalkan, terkecuali perkataan Rasul Saw.”
2.      HADIST DALAM MENENTUKAN HUKUM
Dalam pembicaraan hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an telah disinggung tentang bayan tasyri’, yaitu hadits adakalanya menentukan suatu peraturan/hukum atas suatu persoalan yang tidak disinggung sama sekali oleh Al-Qur’an. Walaupun demikian para Ulama telah berselisih paham terhadap hal ini. Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada ‘ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika hendak menetapkan hukum.
Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah SWT. Sebenarnya dengan kedudukan Nabi sebagai Rasul pun sudah cukup menjadi jaminan (sesuai dengan fungsinya sebagai tasyri’) adalah harus menjadi pedoman bagi umatnya, dan seterusnya. Tetapi mereka yang keberatan, beralasan antara lain: Bahwa fungsi Sunnah itu tidak lepas dari tabyin atas apa yang dinyatakan Al-Qur’an sebagaimana penegasan Allah:
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ ۗ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” (An-Nahl: 44).
Maka apa saja yang diungkap Sunnah sudah ada penjelasannya dalam Al-Qur’an meski secara umum sekalipun. Sebab Al-Qur’an sendiri menegaskan:
مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ۚ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ
“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab ini” (Al-An’am : 38)
Sebenarnya kedua pendapat itu tidak mempunyai perbedaan yang pokok. Walaupun titik tolak berpikirnya berbeda, tetapi kesimpulannya adalah sama. Yang diperdebatkan keduanya adalah soal adanya hadits yang berdiri sendiri. Apakah betul-betul ada atau hanya karena menganggap Al-Qur’an tidak membahasnya, padahal sebenarnya membahas.Seperti dalam soal haramnya kawin karena sesusuan, menurut pihak pertama adalah karena ditetapkan oleh Sunnah yang berdiri sendiri, tetapi ketetapan itu adalah sebagai tabyin/tafsir daripada ayat Al-Qur’an yang membahasnya secara umum dan tidak jelas. Mereka sama-sama mengakui tentang adanya sesuatu tersebut tetapi mereka berbeda pendapat tentang apakah Al-Qur’an pernah menyinggungnya atau tidak (hanya ditetapkan oleh Sunnah saja). Dalam kasus-kasus persoalan lain sebenarnya masih banyak hal-hal yang ditetapkan oleh Sunnah saja, yang barangkali sangat sulit untuk kita cari ayat Al-Qur’an yang membahasnya, walaupun secara umum dan global. Oleh karena itulah kita cenderung untuk berpendapat sama dengan pihak yang pertama.
PERBEDAAN PENDAPAT DALAM SUATU HUKUM 
Hukum fiqih belumlah dibukukan di zaman Rasul Saw. Usaha membahas pada masa itu, belumlah sebagai usaha pembahasan seperti yang dilakukan para fuqoha. Nabi Saw sholat, para shohabat melihatnya,lalu mereka pun sholat seperti apa yang dilihat dilakukan oleh Rasulullah Saw. Dan juga seperti haji, umroh, dan segala macam aspek ibadat yang dilakukan oleh nabi mereka tiru sebagaimana Rasululah mengerjakannya. Maka oleh sebab itu dari berbagai versi shohabat melihat kelakuan nabi dalam mengerja ibadat maka hasillah bermacam-macam cara dalam mengerjakan sebuah ibadat dan terjadi perbedaan dalam menentukan sebuah hukum.
Perbedaan pendapat itu ada beberapa macam:
A.    Karena seseorang shahabat mendengar putusan Rasul dalam suatu perkara, atau mendengar sesuatu fatwa, sedangkan putusan atau fatwa tersebut tidak didengar oleh shahabi lain. Karenanya shohabi lain itu harus berijtihad dalam mengahadapi perkara tersebut. Ijtihad mereka terdiri dari beberapa macam:
a). Ijtihadnya itu sesuai dengan hadits.
b). Terjadi munadharoh (diskusi) antara dua orang dan diperoleh hadits yang menimbulkan sangka kuat Nabi Saw telah menyabdakan hal itu, lalu kembalilah ijtihadnya kepada hadits tersebut.
c). Sampai hadits kepada seseorang shahabi tetapi dengan cara yang tidak menimbulkan persangkaan kuat bahwa Nabi pernah menyabdakan hal tersebut.
d). Sama sekali tidak sampai hadits kepada seorang shahabi.
B.     Berselisih lantaran lupa
C.     Perselisihaan karena berbeda lafadz yang diingat.
D.    Perselisihan pendapat tentang menanggapi ‘illat hukum.
E.     Perselisihan karena berbeda pendapat dalam mempertemukan dua hadits yang bertentangan.        

3.      NABI MUHAMMAD SEBAGAI SANDARAN HADIST
Pada dasarnya seorang Nabi punya peran sebagai panutan bagi umatnya. Sehingga umatnya wajib menjadikan diri seorang Nabi sebagai suri tauladan dalam hidupnya. Namun perlu juga diketahui bahwa tidak semua perbuatan Nabi menjadi ajaran yang wajib untuk diikuti. Memang betul bahwa para prinsipnya perbuatan Nabi itu harus dijadikan tuntunan dan panutan dalam kehidupan. Akan tetapi kalau kita sudah sampai detail masalah, ternyata tetap ada yang menjadi wilayah khushushiyah beliau. Ada beberapa amal yang boleh dikerjakan oleh Nabi tetapi haram bagi umatnya. Di sisi lain ada amal yang wajib bagi Nabi tapi bagi umatnya hanya menjadi Sunnah. Lalu ada juga yang haram dikerjakan oleh Nabi tetapi justru boleh bagi umatnya. Hal ini bisa kita telaah lebih lanjut dalam beberapa uraian berikut ini:
A.    Boleh bagi Nabi, haram bagi umatnya
Ada beberapa perbuatan hanya boleh dikerjakan oleh Rasulullah SAW, sebagai sebuah pengecualian. Namun bagi kita sebagai umatnya justru haram hukumnya bila dikerjakan. Contohnya antara lain:
a.       Berpuasa Wishal
Puasa wishal adalah puasa yang tidak berbuka saat Maghrib, hingga puasa itu bersambung terus sampai esok harinya. Nabi Muhammad SAW berpuasa wishal dan hukumnya boleh bagi beliau, sementara umatnya justru haram bila melakukannya.
b.      Boleh beristri lebih dari empat wanita
Contoh lainnya adalah masalah kebolehan poligami lebih dari 4 isteri dalam waktu yang bersamaan. Kebolehan ini hanya berlaku bagi Rasulullah SAW seorang, sedangkan umatnya justru diharamkan bila melakukannya.
B.     Yang wajib bagi Nabi, Sunnah bagi ummatnya
Sedangkan dari sisi kewajiban, ada beberapa amal yang hukumnya wajib dikerjakan oleh Rasulullah SAW, namun hukumnya hanya Sunnah bagi umatnya.
a.       Shalat Dhuha
Shalat dhuha yang hukumnya Sunnah bagi kita, namun bagi Nabi hukumnya wajib.
b.      Qiyamullail
Demikian juga dengan shalat malam (qiyamullaih) dan dua rakaat fajar. Hukumnya Sunnah bagi kita tapi wajib bagi Rasulullah SAW.
c.       Bersiwak
Selain itu juga ada kewajiban bagi beliau untuk bersiwak, padahal bagi umatnya hukumnya hanya Sunnah saja.
d.      Bermusyawarah
Hukumnya wajib bagi Nabi SAW namun Sunnah bagi umatnya
e.       Menyembelih kurban (udhhiyah)
Hukumnya wajib bagi Nabi SAW namun Sunnah bagi umatnya.
C.     Yang haram bagi Nabi tapi boleh bagi ummatnya
a.       Menerima harta zakat
Semiskin apapun seorang Nabi, namun beliau diharamkan menerima harta zakat. Demikian juga hal yang sama berlaku bagi keluarga beliau (ahlul bait).
b.      Makan makanan yang berbau
Segala jenis makanan yang berbau kurang sedang hukumnya haram bagi beliau, seperti bawang dan sejenisnya. Hal itu karena menyebabkan tidak mau datangnya malakat kepadanya untuk membawa wahyu.
Sedangkan bagi umatnya, hukumnya halal, setidaknya hukumnya makruh. Maka jengkol, petai dan makanan sejenisnya, masih halal dan tidak berdosa bila dimakan oleh umat Muhammad SAW.
c.       Haram menikahi wanita ahlulkitab
Karena isteri Nabi berarti umahat muslim, ibunda orang-orang muslim. Kalau isteri Nabi beragam nasrani atau yahudi, maka bagaimana mungkin bisa terjadi.Sedangkan bagi umatnya dihalalkan menikahi wanita ahli kitab, sebagaimana telah dihalalkan oleh Allah SWT di dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 3. Selain hal-hal yang diuraikan di atas, perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad sebelum kerasulan bukan merupakan sumber hukum dan tidak wajib diikuti. Walaupun oleh sejarah dicatat bahwa perbuatan dan perkataan Nabi selalu terpuji dan benar, sehingga beliau mendapatkan gelar Al-Amin. Akan tetapi kehiupannya waktu itu bisa dijadikan sebagai suatu contoh yang sangat baik bagi kehidupan setiap setiap muslim. Sebagaimana bolehnya kita mengambil contoh atas perbuatan-perbuatan yang baik walaupun dari orang luar Islam sekalipun.Semua contoh di atas merupakan hasil istimbath hukum para ulama dengan cara memeriksa semua dalil baik yang ada di dalam Al-Quran maupun yang ada di dalam Sunnah Nabi SAW.
4.      DALIL-DALIL YANG MENJELASKAN TENTANG HADIST SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
                        
A.    Dalil Al-Qur’an
Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan menerima segala yang datang daripada Rasulullah Saw untuk dijadikan pedoman hidup. Diantaranya adalah:
Firman Allah Swt dalam surah Ali Imran ayat 179 yang berbunyi:
مَّا كَانَ ٱللَّهُ لِيَذَرَ ٱلْمُؤْمِنِينَ عَلَىٰ مَآ أَنتُمْ عَلَيْهِ حَتَّىٰ يَمِيزَ ٱلْخَبِيثَ مِنَ ٱلطَّيِّبِ ۗ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى ٱلْغَيْبِ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَجْتَبِىمِن رُّسُلِهِۦ مَن يَشَآءُ ۖ فَـَٔامِنُوا۟ بِٱللَّهِ وَرُسُلِهِۦ ۚ وَإِن تُؤْمِنُوا۟ وَتَتَّقُوا۟ فَلَكُمْ أَجْرٌ عَظِيمٌۭ
Artinya:“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mu’min). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar.” (QS:Ali Imran:179)
Dalam Surat An-Nisa ayat 136 Allah Swt berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ ۚ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
Artinya;“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.”(QS:An-Nisa:136).
Dalam kedua ayat di atas telah jelas bahwa kita sebagai umat Islam harus beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (Nabi Muhammad Saw), Al-Qur’an, dan kitab yang diturunkan sebelumya. Dan pada akhir ayat Allah mengancam kepada siapa saja yang mengingkari seruannya.Selain Allah Swt memerintahkan kepada umat Islam agar percaya kepada Rasulullah Saw. Allah juga memerintahkan agar mentaati segala peraturan dan perundang-undangan yang dibawanya. Tuntutan taat kepada Rasul itu sama halnya dengan tuntutan taat dan patuh kepada perintah Allah Swt. Banyak ayat Al-Qur’an yang menyerukan seruan ini. Firman Allah Swt. Dalam surat Ali-Imran ayat 32 dibawah ini:
قُلْ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ ۖ فَإِن تَوَلَّوْا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلْكَٰفِرِينَ
Artinya:“Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”. (QS:Ali Imran : 32).
Dalam surat An-Nisa ayat 59 Allah Swt juga berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”(QS:An-Nisa : 59).
Juga dalam Surat An-Nur ayat 54 yang berbunyi:
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ ۖ وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا ۚ وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِي
Artinya:“Katakanlah: “Ta’at kepada Allah dan ta’atlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu ta’at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan amanat dengan tenang”.(An-Nur:54).

A.    Dalil Hadist
Dalam salah satu pesan yang disampaikan baginda Rasul berkenaan dengan kewajiban menjadikan hadits sebagai pedoman hidup disamping Al-Qur’an sebagai pedoman utamanya, adalah:
تركت فيكم أمرين لن تضلوا أبداما إن تمسكتم بهما كتاب الله وسنة رسوله)رواه الحاكم(
Artinya:“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, dan kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunnahrasul-Nya.”(HR.Hakim).
Hadits di atas telah jelas menyebutkan bahwa hadits merupakan pegangan hidup setelah Al-Qur’an dalam menyelesaikan permasalahan dan segalah hal yang berkaitan dengan kehidupan khususnya dalam menentukan hukum.
B.     Kesepakatan Ulama (Ijma’)
Umat Islam telah sepakat menjadikan hadits menjadi sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Kesepakatan umat muslimin dalam mempercayai, menerima, dan mengamalkan segala ketentuan yang terkandung di dalam hadits telah dilakukan sejak jaman Rasulullah, sepeninggal beliau, masa khulafaurrosyidin hingga masa-masa selanjutnya dan tidak ada yang mengingkarinya.Banyak peristiwa menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadits sebagai sumber hukum Islam, antara lain adalah peristiwa dibawah ini:
1.      Ketika Abu Bakar dibaiat menjadi khalifah, ia pernah berkata, “saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya.
2.      Saat Umar berada di depan Hajar Aswad ia berkata, “saya tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu.”
3.      Pernah ditanyakan kepad Abdullah bin Umar tentang ketentuan sholat safar dalam Al-Qur’an. Ibnu Umar menjawab, “Allah Swt telah mengutus Nabi Muhammad Saw kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu, maka sesugguhnya kami berbuat sebagaimana kami melihat Rasulullah berbuat.”
Masih banyak lagi contoh-contoh yang menunjukkan bahwa yang diperintahkan, dilakukan, dan diserukan oleh Rasulullah Saw, selalu diikuti oleh umatnya, dan apa yang dilarang selalu ditinggalkan oleh umatnya.
C.     Sesuai dengan Petunjuk Akal (Ijtihad)
Kerasulan Muhammad Saw, telah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Di dalam mengemban misinya itu kadangkala beliau menyampaikan apa yang datang dari Allah Swt, baik isi maupun formulasinya dan kadangkala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan wahyu dari Tuhan. Namun juga tidak jarang beliau menawarkan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak dibimbing oleh wahyu. Hasil ijtihad ini tetap berlaku hingga akhirnya ada nash yang menasakhnya.Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa hadits merupakan salah satu sumber hukum dan sumber ajaran Islam yang menduduki urutan kedua setelah Al-Qur’an. Sedangkan bila dilihat dari segi kehujjahannya, hadits melahirkan hukum dzonni, kecuali hadits mutawatir.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kaligrafi & Macam-macamnya

BRAIN, BEAUTY, AND BEHAVIOR FOR MUSLIMAH

Wanita hebat